Diceritakan oleh : N
Ditulis kembali oleh : Puspita Indira
Kali ini Nara yang memutuskan untuk
pergi. Jauh meninggalkan bisingnya Jakarta. Jauh meninggalkan sederet kenangan
pahit. Jauh dari segala rutinitas yang membuatnya hampir gila. Dan yang terpenting,
jauh dari dia. Sudah terlalu sering pikirnya Ia selalu jatuh dalam lubang yang
sama. Terpuruk karna hal yang lagi-lagi selalu sama. Dan kini dengan satu tekad
sederhana Nara memutuskan untuk bermuara ke Yogyakarta. Dimana selalu ada rumah
untuk kembali pulang.
Akhirnya
langkah gontai Nara sampai juga dipelataran stasiun gambir yang memang selalu
dipenuhi oleh sebagian warga ibukota. Memulai rutinitas dari sebuah gerbong
yang berjalan diatas rel besi berkilo-kilometer panjangnya. Ia sedikit kesulitan
berjalan dengan sebuah koper berukuran lumayan besar dan ransel yang mengisi
ruang kosong dipundaknya. “Berat,” gerutunya seorang diri. Berjuang
mencari-cari kereta yang dimaksud sembari berjubel dengan banyaknya penumpang yang
berlalu-lalang.
Peluh terus menetes
membasahi pelipis Nara, namun segera diusap oleh punggung tangannya. Kembali Ia
menoleh, seperti mencari-cari sesuatu yang tak kunjung datang. “Bodoh,” makinya
kemudian. “Buat apa sih nyari-nyari terus kaya gini. Udah pasti dia ga mungkin
dateng.” Nara pun melanjutkan pencariannya. Dengan langkah yang lebih mantap,
dan menemukannya sepuluh menit kemudian.
Ia terpaku,
seakan terlempar kembali ke masa lalunya. Saat gerbong kereta menjadi kenangan
dan Dafi sebagai pemeran utamanya. Saat cinta masih menyenangkan dan langit
belum temaram.
*****
“Ayo, Ra,
ayo lompat!” teriak Dafi dari dalam gerbong kereta sembari mengayun-ngayunkan
tangannya. Hari ini Dafi memang menepati janjinya untuk mengajak Nara kembali
menaiki kereta dengan arah tujuan ke Bogor. Setelah seminggu yang lalu mereka
melewati Ujian Semester Pertama dikelas XI ini. Mereka pikir, mereka patut
mendapatkannya.
Awalnya Nara
sempat ragu, namun akhirnya Ia mengiyakan ajakan tersebut. Setelah
dipikir-pikir mereka sudah lama juga tidak jalan bersama. Mengingat hubungan
mereka memang biasa-biasa aja, justru terkesan datar dibandingan dengan
pasangan-pasangan lainnya. Karna menurut Nara, buat apa membesar-besarkan
masalah yang memang pada dasarnya bukan masalah yang besar.
Jadilah
sekarang ini mereka berada distasiun, dan masih berusaha mengejar ketertinggalan
kereta yang kian lama kian berjalan semakin cepat. Nara sangat benci lari.
Menurutnya Ia terlihat aneh saat berlari, dan, yap, Ia memang aneh saat
berlari.
“Aku, hhh
hhh hhh, ga bisa, hhh, Daf,” pasrah Nara dengan nafas tersengal-sengal. “Ayo,
Ra, kamu pasti bisa!!” pekik Dafi tak memerdulikan pandangan aneh penumpang
disekitarnya. Nara kembali berusaha sekuat tenaga, kali ini benar-benar sekuat
tenaga. Ia merentangkan tangannya mencari-cari sebuah pegangan, dan hap! tangan
kirinya pun berhasil menggapai. Lalu mengayunkan tubuhnya untuk naik kedalam
gerbong dan menyambut tangan milik Dafi.
“Akhirnya,
Ra!!! Akhirnyaa!!” teriak Dafi ketika Nara berhasil masuk kedalam gerbong
kereta. Sedangkan orang yang bersangkutan masih mengatur nafasnya yang
berlarian tak karuan. “Minum, hhh hhh hhh,,” satu kata yang keluar dari mulut
Nara hanya itu, minum. Diikuti dengan air mineral ditangannya, mereka pun
mencari tempat duduk.
Beberapa
waktu kemudian mereka pun sudah larut dalam sensasi berada digerbong kereta
yang sudah hampir tua tersebut. Dafi sengaja tidak memilih kereta eksekutif
karna Ia tahu bahwa Nara juga tidak akan senang berada didalamnya. Terlalu kaku
dan dingin, katanya. Nara memang jatuh cinta pada kereta juga balon-balon yang
mengudara, menurutnya itu adalah hal terkeren sepanjang masa yang pernah ada.
Dan kecintaannya itulah yang membuat Dafi juga ikut mencintai kereta, seperti
Ia mencintai Nara.
Suara
decitan kerangka besi yang sudah hampir karatan terdengar sangat kentara saat
kereta berbelok mengikuti lintasan. Gerbong terasa diayun-ayun karna memang
kontur tanah yang tak pernah sama, membuat Nara semakin larut dalam harmonisasi
indah disekitarnya. Angin dan sinar matahari berlomba-lomba masuk melalui
celah-celah jendela yang dibiarkan terbuka. “Makasih ya, Daf,” Nara berkata
dengan seutas senyum paling tulus sebagai jurus andalannya. Membuat Dafi hanya
termangu dan mengangguk, lalu kembali diam.
*****
Nara seperti
tersedak, saat lamunannya menampilkan potongan-potongan Ia dan Dafi saat
menjelajah kota disekitar Jakarta dengan gerbong-gerbong kereta. Entah berapa
kali Ia selalu seperti ini, mendapati dirinya melamun dan tiba-tiba potongan
kenangan manis dari masa lalunya datang seperti menghantui. Menyesakkan, dan
hampir membuatnya sulit bernafas.
Ia segera
mencari tempat duduk. Tetapi pikirannya bercabang kemana-mana, tidak adil
pikirnya jika hanya Ia yang terus dihantui seperti ini. Sedangkan Dafi? Mungkin
sekarang dia sedang bersenang-senang dengan perempuan yang baru lagi. Terakhir
Ia dengar kabar tentang Dafi memang katanya telah putus dari Melisa.
Mengingat
tentang Melisa dan Dafi membuat nyeri dihati Nara kembali terasa. Membayangkan
bagaimana romantisnya reka kejadian mereka ditengah lapangan sekolah. Dafi yang
dengan percaya dirinya memegang setangkai mawar merah, bertekuk lutut dihadapan
Melisa yang sesekali hanya melirik dengan malu-malu.
Entah berapa
pasang mata yang kecewa melihat rentetan peristiwa tersebut. Termasuk Nara,
yang saat itu sedang bersama teman-temannya berada dibawah pepohonan, memang
sengaja duduk disana karna proses penembakan tersebut sudah santer terdengar
seantero sekolah. Riuh ramai siswa-siswi yang menonton menandakan mereka resmi
menjadi pasangan baru disekolah mereka.
Nara dan Dafi
memang telah lama berpisah. Setelah Nara merasakan ada hal yang berbeda dengan
pribadi Dafi lalu melakukan pengamatan, satu kesimpulan yang mencengangkan
dapat ditarik oleh Nara---bahwa Dafi menyukai perempuan lain dan Ia berniat
serius dengannya. Namun Nara hanya diam, dan berubah menjadi dingin. Tak lama
kemudian Dafi memutuskan semuanya. Pergi begitu saja tanpa memberikan Nara
kesempatan untuk menjelaskan mengapa Ia berubah menjadi pendiam belakangan ini.
Tapi setelahnya Nara tersadar bahwa itu hanya akan sia-sia.
Nara pikir
itu akan berjalan biasa saja. Hidup tanpa Dafi. Tanpa gerbong kereta. Tanpa
candaan yang ga penting sepulang sekolah. Memang biasa saja, hanya saja
Dafi-lah yang membuat Nara semakin kesulitan untuk melarikan diri. Sikap Dafi
yang masih saja seperti saat masih bersama, membuat Nara berpresepsi bahwa Dafi
masih sayang padanya.
Namun
sekarang, Nara menyaksikan bagaimana dramatisnya bunga tersebut jatuh ketangan
tuan putri yang kini dipuja-puja oleh Dafi tersebut. Nara terpaku. Ia seakan
lupa bernafas. Ia seperti kehilangan cahaya mataharinya. Dunia seakan gelap.
Karna sekarang bukan lagi Nara yang Dafi sayang. Ia telah kehilangan sesuatu,
yang dulu belum sempat Ia jaga dengan baik-baik. Dan kini sudah terlambat.
*****
Kereta mulai
berjalan. Meninggalkan sederet kenangan pahit maupun manis. Meninggalkan cinta
yang telah lama dikubur mati oleh waktu. Mengikhlaskan semua sakit yang telah
lama dideritanya. Menuju kota seribu harapan yang dulu sering
didengung-dengungkan oleh Dafi untuk pergi kesana bersama, Yogyakarta.
Dengan
keyakinan bahwa suatu saat akan ada mawar lain yang akan membawa kebahagiaan
dengan kelopak berjatuhan. Dan Nara akan selalu menunggu, mawar tersebut akan
memberikan seluruh kelopaknya.
*************************************************************