Wednesday, October 23, 2013

Pulang

Diceritakan oleh : N
Ditulis kembali oleh : Puspita Indira

Kali ini Nara yang memutuskan untuk pergi. Jauh meninggalkan bisingnya Jakarta. Jauh meninggalkan sederet kenangan pahit. Jauh dari segala rutinitas yang membuatnya hampir gila. Dan yang terpenting, jauh dari dia. Sudah terlalu sering pikirnya Ia selalu jatuh dalam lubang yang sama. Terpuruk karna hal yang lagi-lagi selalu sama. Dan kini dengan satu tekad sederhana Nara memutuskan untuk bermuara ke Yogyakarta. Dimana selalu ada rumah untuk kembali pulang.

Akhirnya langkah gontai Nara sampai juga dipelataran stasiun gambir yang memang selalu dipenuhi oleh sebagian warga ibukota. Memulai rutinitas dari sebuah gerbong yang berjalan diatas rel besi berkilo-kilometer panjangnya. Ia sedikit kesulitan berjalan dengan sebuah koper berukuran lumayan besar dan ransel yang mengisi ruang kosong dipundaknya. “Berat,” gerutunya seorang diri. Berjuang mencari-cari kereta yang dimaksud sembari berjubel dengan banyaknya penumpang yang berlalu-lalang.

Peluh terus menetes membasahi pelipis Nara, namun segera diusap oleh punggung tangannya. Kembali Ia menoleh, seperti mencari-cari sesuatu yang tak kunjung datang. “Bodoh,” makinya kemudian. “Buat apa sih nyari-nyari terus kaya gini. Udah pasti dia ga mungkin dateng.” Nara pun melanjutkan pencariannya. Dengan langkah yang lebih mantap, dan menemukannya sepuluh menit kemudian.

Ia terpaku, seakan terlempar kembali ke masa lalunya. Saat gerbong kereta menjadi kenangan dan Dafi sebagai pemeran utamanya. Saat cinta masih menyenangkan dan langit belum temaram.

*****

“Ayo, Ra, ayo lompat!” teriak Dafi dari dalam gerbong kereta sembari mengayun-ngayunkan tangannya. Hari ini Dafi memang menepati janjinya untuk mengajak Nara kembali menaiki kereta dengan arah tujuan ke Bogor. Setelah seminggu yang lalu mereka melewati Ujian Semester Pertama dikelas XI ini. Mereka pikir, mereka patut mendapatkannya.

Awalnya Nara sempat ragu, namun akhirnya Ia mengiyakan ajakan tersebut. Setelah dipikir-pikir mereka sudah lama juga tidak jalan bersama. Mengingat hubungan mereka memang biasa-biasa aja, justru terkesan datar dibandingan dengan pasangan-pasangan lainnya. Karna menurut Nara, buat apa membesar-besarkan masalah yang memang pada dasarnya bukan masalah yang besar.

Jadilah sekarang ini mereka berada distasiun, dan masih berusaha mengejar ketertinggalan kereta yang kian lama kian berjalan semakin cepat. Nara sangat benci lari. Menurutnya Ia terlihat aneh saat berlari, dan, yap, Ia memang aneh saat berlari.

“Aku, hhh hhh hhh, ga bisa, hhh, Daf,” pasrah Nara dengan nafas tersengal-sengal. “Ayo, Ra, kamu pasti bisa!!” pekik Dafi tak memerdulikan pandangan aneh penumpang disekitarnya. Nara kembali berusaha sekuat tenaga, kali ini benar-benar sekuat tenaga. Ia merentangkan tangannya mencari-cari sebuah pegangan, dan hap! tangan kirinya pun berhasil menggapai. Lalu mengayunkan tubuhnya untuk naik kedalam gerbong dan menyambut tangan milik Dafi.

“Akhirnya, Ra!!! Akhirnyaa!!” teriak Dafi ketika Nara berhasil masuk kedalam gerbong kereta. Sedangkan orang yang bersangkutan masih mengatur nafasnya yang berlarian tak karuan. “Minum, hhh hhh hhh,,” satu kata yang keluar dari mulut Nara hanya itu, minum. Diikuti dengan air mineral ditangannya, mereka pun mencari tempat duduk.

Beberapa waktu kemudian mereka pun sudah larut dalam sensasi berada digerbong kereta yang sudah hampir tua tersebut. Dafi sengaja tidak memilih kereta eksekutif karna Ia tahu bahwa Nara juga tidak akan senang berada didalamnya. Terlalu kaku dan dingin, katanya. Nara memang jatuh cinta pada kereta juga balon-balon yang mengudara, menurutnya itu adalah hal terkeren sepanjang masa yang pernah ada. Dan kecintaannya itulah yang membuat Dafi juga ikut mencintai kereta, seperti Ia mencintai Nara.

Suara decitan kerangka besi yang sudah hampir karatan terdengar sangat kentara saat kereta berbelok mengikuti lintasan. Gerbong terasa diayun-ayun karna memang kontur tanah yang tak pernah sama, membuat Nara semakin larut dalam harmonisasi indah disekitarnya. Angin dan sinar matahari berlomba-lomba masuk melalui celah-celah jendela yang dibiarkan terbuka. “Makasih ya, Daf,” Nara berkata dengan seutas senyum paling tulus sebagai jurus andalannya. Membuat Dafi hanya termangu dan mengangguk, lalu kembali diam.

*****

Nara seperti tersedak, saat lamunannya menampilkan potongan-potongan Ia dan Dafi saat menjelajah kota disekitar Jakarta dengan gerbong-gerbong kereta. Entah berapa kali Ia selalu seperti ini, mendapati dirinya melamun dan tiba-tiba potongan kenangan manis dari masa lalunya datang seperti menghantui. Menyesakkan, dan hampir membuatnya sulit bernafas.

Ia segera mencari tempat duduk. Tetapi pikirannya bercabang kemana-mana, tidak adil pikirnya jika hanya Ia yang terus dihantui seperti ini. Sedangkan Dafi? Mungkin sekarang dia sedang bersenang-senang dengan perempuan yang baru lagi. Terakhir Ia dengar kabar tentang Dafi memang katanya telah putus dari Melisa.

Mengingat tentang Melisa dan Dafi membuat nyeri dihati Nara kembali terasa. Membayangkan bagaimana romantisnya reka kejadian mereka ditengah lapangan sekolah. Dafi yang dengan percaya dirinya memegang setangkai mawar merah, bertekuk lutut dihadapan Melisa yang sesekali hanya melirik dengan malu-malu.

Entah berapa pasang mata yang kecewa melihat rentetan peristiwa tersebut. Termasuk Nara, yang saat itu sedang bersama teman-temannya berada dibawah pepohonan, memang sengaja duduk disana karna proses penembakan tersebut sudah santer terdengar seantero sekolah. Riuh ramai siswa-siswi yang menonton menandakan mereka resmi menjadi pasangan baru disekolah mereka.

Nara dan Dafi memang telah lama berpisah. Setelah Nara merasakan ada hal yang berbeda dengan pribadi Dafi lalu melakukan pengamatan, satu kesimpulan yang mencengangkan dapat ditarik oleh Nara---bahwa Dafi menyukai perempuan lain dan Ia berniat serius dengannya. Namun Nara hanya diam, dan berubah menjadi dingin. Tak lama kemudian Dafi memutuskan semuanya. Pergi begitu saja tanpa memberikan Nara kesempatan untuk menjelaskan mengapa Ia berubah menjadi pendiam belakangan ini. Tapi setelahnya Nara tersadar bahwa itu hanya akan sia-sia.
  
Nara pikir itu akan berjalan biasa saja. Hidup tanpa Dafi. Tanpa gerbong kereta. Tanpa candaan yang ga penting sepulang sekolah. Memang biasa saja, hanya saja Dafi-lah yang membuat Nara semakin kesulitan untuk melarikan diri. Sikap Dafi yang masih saja seperti saat masih bersama, membuat Nara berpresepsi bahwa Dafi masih sayang padanya.

Namun sekarang, Nara menyaksikan bagaimana dramatisnya bunga tersebut jatuh ketangan tuan putri yang kini dipuja-puja oleh Dafi tersebut. Nara terpaku. Ia seakan lupa bernafas. Ia seperti kehilangan cahaya mataharinya. Dunia seakan gelap. Karna sekarang bukan lagi Nara yang Dafi sayang. Ia telah kehilangan sesuatu, yang dulu belum sempat Ia jaga dengan baik-baik. Dan kini sudah terlambat.

*****

Kereta mulai berjalan. Meninggalkan sederet kenangan pahit maupun manis. Meninggalkan cinta yang telah lama dikubur mati oleh waktu. Mengikhlaskan semua sakit yang telah lama dideritanya. Menuju kota seribu harapan yang dulu sering didengung-dengungkan oleh Dafi untuk pergi kesana bersama, Yogyakarta.


Dengan keyakinan bahwa suatu saat akan ada mawar lain yang akan membawa kebahagiaan dengan kelopak berjatuhan. Dan Nara akan selalu menunggu, mawar tersebut akan memberikan seluruh kelopaknya.

*************************************************************

No comments:

Post a Comment